Dunia

China kekurangan vaksin rabies di tengah lonjakan kasus


Saat tinggal di rumah selama pandemi, masyarakat banyak menghabiskan waktunya bersama binatang piaraan. Hal ini memungkinkan peningkatan serangan anjing pada manusia

Jakarta (ANTARA) – Masyarakat China dicekam kekhawatiran yang mendalam setelah sejumlah provinsi mengalami kekurangan persediaan vaksin rabies di tengah lonjakan kasus orang-orang yang terluka akibat gigitan anjing dan kucing.

Rumah Sakit No 5 Kota Shijiazhuang, Provinsi Hebei, Senin (27/7), menyatakan kekurangan stok vaksin rabies pada Mei-Juni setelah sejumlah perusahaan vaksin menghentikan produksinya pada Januari-Februari akibat pandemi COVID-19.

Kalau pun ada, distribusinya sangat lambat, demikian rumah sakit tersebut dikutip media resmi setempat, Selasa.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDCP) Kota Jinan, Provinsi Shandong, juga menyatakan hal yang senada bahkan kekurangan stok akan berlangsung lama.

Beberapa pengamat menilai kekurangan stok tersebut akibat pengetatan sistem supervisi sehingga lisensi beberapa perusahaan besar ditangguhkan sebagai dampak skandal kegagalan vaksin yang diproduksi oleh Changchun Changsheng Life Science pada 2018. Skandal ini telah mendapatkan perhatian serius dari Presiden Xi Jinping selaku Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (CPC) sehingga beberapa pucuk pimpinan perusahaan vaksin tersebut dijebloskan ke penjara.

BACA JUGA :  Publik diminta untuk berikan nama anak harimau di Kebun Binatang Shanghai

“Faktor itu tidak bisa dimungkiri sangat berdampak pada produksi vaksin sehingga stok berkurang pada Januari-Februari. Tapi tingginya kesenjangan antara produksi dan permintaan sudah bisa cepat teratasi pada Maret,” kata Tao Lina, pakar vaksin dari Shanghai mencoba menenangkan masyarakat seperti dikutip Global Times.

Produsen vaksin Liaoning Chengda Co Ltd menggeliatkan lagi produksinya pada 2 Maret agar bisa menghasilkan 800.000 dosis vaksin per bulan, sama dengan kapasitas produksi pada 2019.

Nilai produksi vaksin rabies di China mencapai 4 miliar yuan atau sekitar Rp8,3 triliun, demikian data yang dikutip situs berita keuangan China eeo.com.

“Saat tinggal di rumah selama pandemi, masyarakat banyak menghabiskan waktunya bersama binatang piaraan. Hal ini memungkinkan peningkatan serangan anjing pada manusia,” kata Tao mengemukakan alasan lain dari tingginya permintaan vaksin rabies tersebut.

Baca juga: Kekurangan Dokter-Vaksin Akibatkan Belasan Warga Tewas

Oleh sebab itu dia mendesak pihak terkait memperketat aturan mengenai binatang piaraan dan memperluas jangkauan vaksinasi untuk melindungi masyarakat dari penyakit rabies.

BACA JUGA :  3 Prinsip Pemerintah dalam Pemulihan Industri Nasional 

Di China kasus rabies menduduki peringkat kelima penyakit menular yang menyebabkan kematian, setelah AIDS, TBC, Hepatitis A, dan Hepatitis B.

Pada 2019 terdapat 276 orang di China tewas akibat rabies. Pada 2007 jumlah kematiannya pernah mencapai anngka 3.300.

China bisa saja mengikuti India dengan angka kematian setiap tahun lebih dari 2.000 dalam satu dekade terakhir.

Namun China telah meningkatkan manajemen hewan peliharaan dalam beberapa tahun terakhir dengan mewajibkan pemiliknya mendaftar dan vaksinasi.

Menurut salah satu laporan industri, permintaan vaksin rabies di China akan tetap tinggi hingga 70 persen dari hewan peliharaan yang harus divaksinasi. Saat ini rasio vaksinasinya 10-40 persen.

Pada 2019, jumlah kucing dan anjing peliharaan di China mencapai 99,15 juta ekor, naik 8,4 persen dibandingkan 2018. 

Baca juga: 18 pemalsu vaksin di Cina segera ditahan

Baca juga: Australia Bantu Tanggulangi Rabies di Bali

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mulyo Sunyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2020



Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

four + thirteen =

Trending

Ke Atas