Digital

Hari Media Sosial, bermedsos yang bijak dan sehat

Hari Media Sosial, bermedsos yang bijak dan sehat



Jakarta (ANTARA) – Setiap tanggal 10 Juni, Indonesia memperingati Hari Media Sosial, yang bisa dijadikan refleksi apakah sudah menggunakan media sosial dengan bijak dan sehat.

Pengguna media sosial tentu tidak asing dengan keseruan percakapan di media sosial terutama ketika sedang membahas isu terhangat. Tidak asing juga melihat beragam cara warganet menyampaikan pendapat di ranah publik seperti media sosial.

Sayangnya, sampai saat ini, media sosial masih saja diisi dengan ujaran yang kasar, meskipun sudah berkali-kali diingatkan untuk memakai etika berbicara ketika sedang di dunia maya.

ANTARA menghubungi Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, Yosi Mokalu, mengenai mengapa tidak boleh berkata kasar di media sosial. Jawaban paling sederhana, menurut Yosi, adalah karena kita bangsa yang berbudaya.

“Salah satu buktinya adalah etika yang kita bentuk dalam komunikasi kita. Idealnya etika yang berlaku secara offline, tidak banyak berubah secara online,” kata Yosi.

Baca juga: Huawei buka Pusat Keamanan Siber & Perlindungan Privasi terbesar

Baca juga: Kominfo gandeng e-commerce edukasi keamanan siber

Di masa pandemi COVID-19, percakapan melalui dunia maya, termasuk media sosial, menjadi pilihan pertama ketika ingin berkomunikasi dengan orang lain, demi mengurangi interaksi fisik, yang bisa memperbanyak penyebaran virus corona.

Ketika mau tidak mau komunikasi berpindah ke ruang digital, sayangnya, etika tidak serta-merta ikut bermigrasi.

Menurut Yosi, penyebabnya adalah banyak kegiatan yang secara cepat pindah ke dunia maya.

“Etika terbentuk karena kesepakatan bersama, tappi, ketika banyak aktivitas beralih secara cepat ke ranah online, etikanya tidak serta-merta cepat menyesuaikan,” kata Yosi.

Beberapa orang menyitir kebebasan berekspresi sebagai alasan mereka mengutarakan pendapat meski pun dengan kata-kata yang kasar.

Kebebasan berekspresi diatur dalam konvensi International Covenant on Civil and Political Rights, bahwa kebebasan tidak berarti sama sekali tanpa aturan, namun, harus menghargai orang lain.

Kekhawatiran Siberkreasi, ketika semua orang merasa bebas mengutarakan pendapat, orang tidak lagi belajar saling menghormati, saling menghargai satu sama lain. Jika ditarik lebih jauh, menurut Yosi, bisa berdampak pada rasa kebersamaan sebagai satu bangsa.

BACA JUGA :  Ditunjuk Ketua Dewan Penasehat Bappilu, Idrus Marham Diyakini Mampu Menangkan Golkar

“Penting untuk kembali mengingatkan tentang indahnya beretika dalam kehidupan kita, termasuk secara online, yaitu di media sosial kita,” kata Yosi.

Bermedia sosial yang sehat

Menggunakan media sosial secara sehat berawal dari sendiri, menurut Siberkreasi bisa dimulai dengan mengembangkan sikap kritis dan peduli.

“Kritis terhadap apa yang kita baca dan apa yang kita unggah,” kata Yosi.

Kepedulian yang dimaksud Yosi adalah peduli terhadap perasaan orang lain, yang akan membaca tulisan kita di media sosial. Cara paling sederhana, pertimbangkan bahwa ketika kita tidak mau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain, maka jangan lakukan perbuatan serupa ke orang lain.

“Kesopanan, saling menghormati atau menghargai saat tatap muka juga diterapkan online,” kata Yosi.

Kedewasaan dan kebijkasanaan menurut Yosi diperlukan untuk menerapkan sikap kritis dan peduli, alasannya, menurut dia, kepedulian terhadap orang lain belum tentu bisa hadir jika pengguna belum dewasa.

“Menang argumentasi bukanlah tujuan utama kedewasaan,” kata Yosi, mengenai interaksi di media sosial.

Sementara kebijaksanaan dalam bermedia sosial diperlukan untuk mengendalikan kebebasan berekspresi, yaitu menyampaikan pendapat dalam cara yang tidak merugikan orang lain.

Media sosial secara spesifik memberlakukan syarat pengguna minimal berusia 13 tahun, kecuali jika platform tersebut memang ditujukan untuk anak-anak.

Usia minimal 13 tahun untuk masuk media sosial berasal dari kajian ilmiah, bahwa ketika usia tersebut, anak bisa berpikir lebih matang dibandingkan usia di bawah 13 tahun.

Indonesia bahkan memiliki wacana untuk menaikkan usia minimal menggunakan media sosial. Jika menurut platform media sosial 13 tahun, Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi mengusulkan minimal 17 tahun agar bisa memiliki akun di media sosial.

Komite Etika Berinternet

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Februari lalu membentuk Komite Etika Berinternet agar ruang digital sehat dan bisa dimanfaatkan secara produktif.

BACA JUGA :  Google Pixel 6 pakai chip baru dan layanan berlangganan "Pixel Pass"

Komite ini muncul tidak lama setelah survei Microsoft di Asia Pasifik menunjukkan tingkat keberadaban warganet Indonesia berada di peringkat rendah di kawasan tersebut, dinilai dari ujaran kebencian, perundungan siber dan tingkat penyebaran hoaks.

Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara yang menjadi subjek penelitian.

Komite Etika Berinternet, bersama Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi akan membuat panduan praktis tentang budaya dan etika menggunakan internet dan media sosial, yang berlandaskan kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan dan menghormati privasi, individu dan data pribadi orang lain.

Berdasarkan survei Kominfo bersama Katadata Insight Center, indeks literasi digital nasional tahun 2020 lalu tergolong sedang, sementara penggunaan internet dan media sosial tinggi.

Dalam skala 5, indeks Indonesia berada di angka 3,47, yang berdasarkan survei tersebut tergolong kategori “sedang menuju baik”. Skor 3 sampai 4 pada indeks literasi digital nasional tergolong sedang, sementara skor 4 ke atas adalah baik.

Indeks tersebut dihitung berdasarkan kemampuan informasi dan literasi data, komunikasi dan kolaborasi, keamanan dan kemampuan teknologi.

Meski pun indeks literasi digital tergolong sedang, penggunaan media sosial penduduk Indonesia berdasarkan survei tersebut termasuk tinggi. Dari 1.670 responden di 34 provinsi, sebanyak 99,9 persen memiliki ponsel.

99,7 persen dari populasi yang memiliki ponsek mengaku gawai mereka terkoneksi ke internet.

Warganet umumnya mengandalkan internet untuk berkomunikasi lewat pesan singkat (57 persen), mengakses media sosial (50,4 persen) dan mencari informasi di dunia maya (46,1 persen).

Hari Media Sosial 10 Juni ini menjadi refleksi, sudahkan kita menggunakan media sosial secara sehat?

Baca juga: Peringatan Hari Media Sosial momentum rajut persatuan, kata akademisi

Baca juga: Hari Media Sosial, Facebook luncurkan panduan ber-medsos

Baca juga: Dewan Pers: Kebebasan pers hadapi disrupsi media sosial

Oleh Natisha Andarningtyas
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021



Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 − four =

Trending

Ke Atas