Hukum

Kuasa Hukum: Fatia Kritik Pejabat Publik, Bukan Individu

Kuasa Hukum: Fatia Kritik Pejabat Publik, Bukan Individu


Pejabat publik dapat dan sangat bisa untuk dikritik.

TERDEPAN.id, JAKARTA — Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menegaskan, bahwa yang dikritik Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sebagai pejabat publik, bukan individu. Pernyataan ini merespon atas dilaporkannya Fatia dan aktivis Haris Azhar atas dugaan pencemaran nama baik.


“Jadi kalau kita dengar LBP kemudian atau kuasa hukumnya mengatakan bahwa kami adalah individu yang memiliki hak, tetapi yang dikritik oleh Fatiah justru LBP sebagai pejabat publik,” tegas Asfinawati dalam konferensi pers daring, Rabu (22/9).

BACA JUGA :  Menkopolhukam: Pancasila Tetap Lima Sila dalam RUU BPIP


Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) melaporkan Fatia dan Haris Azhar ke Polda Metro Jaya pada Rabu (22/9). Laporan itu berawal dari kritik keduanya yang ada dalam video Youtube yang diunggah Haris Azhar berjudul Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Pos Militer Intan Jaya.


Menurut Asfinawati, justru sebagai Luhut tidak elok melaporkan Fatia dan Haris Azhar ke pihak berwajib karena kritik tersebut. Sebab, Asfinawati menegaskan, bahwa pejabat publik dapat dan sangat bisa untuk dikritik. Karena bagaimana pun juga pejabat publik harus diawasi oleh rakyat, bukan sebaliknya pejabat publik yang memantau dan mengawasi masyarakat.

BACA JUGA :  Pakar Hukum Nilai tak Ada Unsur Politis dalam Pemanggilan Airlangga oleh Kejagung


“Ini terbalik harusnya yang mengawasi pemerintah adalah masyarakat jadi kalau yang mensomasi itu harusnya masyarakat, kalau ini kan terbalik. Artinya aparat pemerintah mengawasi rakyat dan bahkan mengkriminalisasi,” kata Asfinawati.


Maka, dengan adanya laporan pejabat publik kepada rakyatnya, menandakan menyebabkan hilangnya kritik masyarakat dalam negara demokrasi. Jika pejabat publik tidak bisa dikritik maka tidak ada suara rakyat dalam perjalanan negara. Kemudia jika suara rakyat tidak ada, maka tidak ada demokrasi.


“Ini adalah ciri-ciri negara otoriter karena pemerintahlah yang justru mengawasi rakyat bukan terbalik,” tutupnya. 





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 + 1 =

Trending

Ke Atas