Ekonomi

Pertamina EP Datangkan Owa Jawa Penghuni Baru Gunung Puntang

Pertamina EP Datangkan Owa Jawa Penghuni Baru Gunung Puntang


Owa Jawa memiliki peran penting di peningkatan kualitas ekosistem

TERDEPAN.id, BOGOR — Seperti biasa, suhu udara di Gunung Puntang di Bandung Selatan memang lebih dingin dibandingkan suhu udara di Tanaman Nasional Gunung Gede Pangrango yang wilayahnya meliputi tiga kabupaten Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Dinginnya Gunung Puntang tidak menyurutkan semangat beberapa petugas dari Yayasan Owa Jawa yang sejak Selasa (28/7) dini hari untuk kembali mendatangkan calon penghuni barunya.

Si Ukong dan Si Gomeh, dua Owa Jawa dari kandang rehabilitasi Taman Nasional Gede Pangrango di Lido, siap  menempati rumah baru mereka di kawasan Wahana Wisata Gunung Puntang. Proses relokasi Owa Jawa ini boleh merupakan salah satu momen bersejarah dan tidak banyak yang bisa mengalami. Ini tentu tidak lepas dari kecerdasan yang dimiliki Owa Jawa sehingga terlibat dalam proses pelestariannya tentu bisa menjadi pengalaman sangat berharga.

Owa terlebih dahulu dibius dengan cara ditulup, di dalam kandang rehabilitasi. Ada yang menarik, Owa Jawa ini sudah mampu melindungi diri dari serangan, mereka mampu beberapa kali menangkis anak tulup yang terbang ke arah mereka. Setelah berhasil dibius dan pingsan, Owa Jawa diambil lalu dimasukan kotak masing masing dengan jarak berdekatan dengan pasanganya.

Butuh sekitar empat jam perjalanan dari Lido untuk mencapai Kantor Yayasan Owa Jawa di Gunung Puntang. Rencananya pada pukul 6 pagi pasang Owa Jawa akan kembali menempuh perjalanan ke kandang habituasi di lereng Gunung Puntang. Lokasi kandang habituasi ada di tiga tempat, yaitu Kandang Cisaat, Kandang Haruman, dan Kandang Nangsi.

Habituasi adalah proses mengajarkan Owa Jawa beradaptasi sebelum dilepas ke alam liar. Di kandang habituasi, Owa Jawa akan diberikan makan-makan yang tumbuh di hutan Gunung Puntang. Owa juga akan beradaptasi dengan ketinggian serta suhu udaranya.

Kandang habituasi dibuat dari bambu dan diberi atap daun-daun setinggi sepuluh meter yang sudah dibuatkan gantungan-gatungan dan rumah-rumahan di dalamnya. Hanya dalam hitungan menit, sejak masuk di dalamnya, Si Ukong dan Gomeh terlihat asik bergelantungan dan bergerak mengelilingi kandang dengan mengeluarkan suara “panggilan pagi” yang sangat nyaring. Panggilan pagi  menadakan kehadiran dan teritorialnya, dan menunjukan sepertinya “Aku” sudah siap untuk eksplore di alam liar.

Apa yang sudah dilalui Si Ukong dan Gomeh merupakan rangkaian proses sebagai bagian dari upaya pelestarian Owa Jawa. Satwa endemik, Owa Jawa sudah masuk daftar merah IUCN dengan status Vulnerable karena tersisa sekitar 2.000-4.000 ekor. Owa Jawa merupakan spesies Owa yang paling langka di dunia. Sungguh sangat disayangkan penyematan status tersebut kepadanya.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari Owa Jawa, salah satunya adalah tentang kesetiaan. Primata arboreal ini termasuk satwa monogami, yang berarti bahwa dia hanya akan memiliki pasangan seumur hidupnya. Tingkat kesetiaannya bisa menjadi melebihi kadar kesetiaan yang dipatok manusia karena apabila salah satu pasangannya mati, Owa tidak akan mencari pasangan lain dan hidup menyendiri hingga akhir hayatnya.

BACA JUGA :  Pancasila Dalam Taring Politik!

Sifat ini juga mempengaruhi kehidupan keluarga Owa. Ikatan keluarga Owa sangat erat sehingga apabila salah satu dari mereka diambil atau terganggu maka semua pola hidup dan psikologis keluarga di dalamnya akan terpengaruh.

Apabila Owa kehilangan pasangan atau anaknya, mereka akan merasa stress dan dapat berujung sakit hingga menyebabkan kematian. Karena itu tidak berlebihan jika beberapa ahli mengemukakan kesetiaan Owa melebihi kesetiaan yang dimiliki manusia.

Namun sifat alami yang dimiliki Owa itu justru membuatnya menjadi rentan. Banyak kasus induk Owa diburu dan dibunuh untuk diambil bayi atau anaknya. Umumnya bayi yang hidup tanpa induknya tidak dapat hidup lama. Sebagian besar mereka menjadi stress karena jauh dari keluarganya dan mati sia-sia. Pasangan yang tersisa dan ditinggalkan juga akan stress lalu sakit sehingga dapat berujung pada kematian.

Padahal perburuan Owa Jawa oleh manusia hanya untuk dijual karena Owa Jawa berbulu halus seperti bulu boneka sehingga banyak yang berniat memilikinya untuk menjadi hewan peliharaan.

Pemerintah sebenarnya sudah memagari aktivitas ilegal itu melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P92 Tahun 2018 tentang Perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P20 Tahun 2018 tentang Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar yang menetapkan Owa Jawa merupakan satwa dilindungi.

Selain itu, menjadi ancaman terbesar pada populasi Owa Jawa yang masih tersisa adalah rusaknya habitat hutan akibat perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan dan pembangunan yang terus menerus tanpa mitigasi pelestarian ekosistem hutan.

Disamping karena perburuan dan kerusakan ekosistem hutan, jumlah Owa Jawa yang sedikit juga diakibatkan sifat alaminya. Proses reproduksi Owa Jawa lama, sifat teritorial Owa dan sifatnya yang monogami menyebabkan sulitnya konservasi primata setia ini karena populasinya memang sangat sedikit. Hal inilah membuat Owa Jawa menuju kepunahan.

Upaya untuk terus melestarikan Owa Jawa belum berhenti. Perjodohan sebagai satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memastikan Owa Jawa tetap hidup di hutan pulau Jawa.

Dr. Pristiani Nurantika dari Javan Gibbon Centre menjelaskan Owa Jawa tidak mudah dalam menentukan pasangan. Seperti manusia, mesti ada proses pendekatan. Proses pendekatan atau penjodohan tersebut membutuhkan waktu yang lumayan lama, 1-2 tahun secara normal.

Cara Owa saat melakukan pendekatan  juga mirip remaja. Kalau mereka cocok, mereka akan colak-colek, makin akrab saling grooming, lalu cium-ciuman, lalu dimasukan ke kandang cinta, layaknya manusia. Dalam kandang cinta mereka akan semakin akrab dan akhirnya mereka kawin, punya anak lalu menjadi keluarga.

Hari ini akan dilakukan habituasi kepada 3 pasang Owa Jawa yang telah berhasil di jodohkan yaitu Si Ukong berpasangan dengan Gomeh, Lukas berpasangan Labuan, dan Yossy berpasangan dengan Nofri dijelaskan oleh Dr. Pristiani Nurantika layaknya sang “biro jodoh” Owa Jawa.

“Mereka akan di kandang habituasi sekitar empat bulan,..semoga ada yang hamil…Berdasarkan evaluasi, selama itu untuk melihat peningkatan perilaku apakah sudah mendekati Owa liar. Itu yang menjadi alasan kuat untuk melanjutkan mereka ke tahap berikutnya, yaitu lepas liar,” kata Pristiani, dalam siaran persnya.

BACA JUGA :  Harga Telur Ayam Anjlok, ini Kata Pakar IPB University

Dadang Suryana, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Bogor, mengatakan jika habituasi sukses, proses selanjutnya bisa dilanjutkan dengan proses pelepasliaran. Proses upaya pelestarian harus terus dilakukan pengawasan selama satu tahun untuk memastikan Owa Jawa berhasil bertahan hidup dan berkembang di alam setelah lepasliaran.

“Ini hal yang penting. Sebenarnya, program reintroduksi Owa Jawa tidak selesai saat habituasi lalu pelepasliaran. Setelah itu lebih penting, memastikan mereka berkembang biak, tidak diburu, hutan tidak dirambah manusia untuk perkebunan dan perumahan. Kualitas ekosistem hutan harus ditingkatkan,” jelas Dadang.

Menurut Dadang, Owa Jawa memiliki peran penting di peningkatan kualitas ekosistem. Mereka akan menyebarkan biji-bijian dari buah yang mereka makan, dan secara tidak langsung menjaga kelestarian hutan. Owa itu adalah indikator kualitas hutan yang baik.

“Dengan adanya owa di suatu hutan, kualitas hutan untuk hewan lain juga akan lebih baik,” ujarnya.

Harapan terhadap kelangsungan hidup Owa Jawa mulai menemui titik cerah pada 2013. Mulai tahun itu, Pertamina EP Asset 3 Subang Field, unit bisnis PT Pertamina EP yang merupakan anak perusahaan Pertamina (Persero), serta sebagai kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di bawah pengawasan SKK Migas,  menggandeng Yayasan Owa Jawa berusaha memulangkan kembali Owa Jawa ke Gunung Puntang lewat proses pelepasliaran dari kandang rehabilitasi di Lido Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Kolaborasi tersebut penting lantaran ketika berjuang sendiri sejak 2003 hingga 2013 Yayasan Owa Jawa baru melepasliarkan dua keluarga atau empat individu ke wilayah Taman Nasional Gede Pangrango.

Melalui kolaborasi tersebut ada sekitar 24 ekor Owa Jawa sudah dilepasliarkan ke Gunung Puntang berkat upaya Javan Gibbon Center (JGC), program penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa hasil kerja sama Yayasan Owa Jawa dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan dukungan dari Pertamina EP. Hingga saat ini, Owa Jawa tersebut masih dalam pengawasan dan pemantauan.

Lebih dari itu, usaha menggiatkan pelestarian alam dan Owa Jawa yang dilakukan Pertamina EP Asset 3 Subang Field adalah dengan terus memberikan edukasi kepada masyarakat luas melalui sosialisasi ke sekolah-sekolah, penelitian, dan pelatihan peningkatan kapasitas sumber daya manusia disekitar lokasi Gunung Puntang.

Melalui Program Melintang (Masyarakat Peduli Alam Puntang) Pertamina EP memberikan pendampingan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar agar  masyarakat tidak melakukan pemburu satwa liar serta perambah hutan ilegal. Dalam program ini Pertamina EP mengajarkan masyarakat untuk budidaya kopi. Saat ini warga sekitar telah memiliki Puntang Wangi Cafe sebagai saung edukasi owa jawa sekaligus tempat barista berlatih meracik kopi.

Atas kontribusinya pelestarian lingkungan, Pertamina EP Subang Field meraih apresiasi berupa penghargaan dari Indonesia Green Award (IGA) di tahun 2018 dalam kategori mengembangkan keanekaragaman hayati program Hutan Rindang Owa Jawa Berdendang.





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × 2 =

Trending

Ke Atas