Politik

Alasan Partai Gelora Gugat Presidential Threshold ke MK

Alasan Partai Gelora Gugat Presidential Threshold ke MK


Tidak hanya presidential threshold, parliamentary threshold juga digugat Partai Gelor

TERDEPAN.id, JAKARTA — Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta mengatakan adanya bias dalam sistem politik Indonesia melahirkan pemerintahan yang tidak efektif. Untuk itu Partai Gelora berencana akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Januari ini.

“Sebagian dari upaya reformasi total terhadap sistem politik ini akan kita ajukan dalam bentuk judicial review tiga hal itu tadi, untuk presidential threshold, parliamentary threshold, dan pemisahan pelaksanaan pileg dan pilpres,” kata Anis dalam diskusi daring, Rabu (5/1).

Selain tiga hal di atas, Partai Gelora juga akan mengajukan gugatan lain yang tak berkaitan dengan tiga gugatan di atas. Namun, ia mengatakan secara umum masih menyangkut sistem politik.

BACA JUGA :  Pengamat: Oposisi Kini tidak Bisa Lagi Diandalkan

“Ini insya allah dua akademi paper ini  akan kita munculkan tetapi kita ingin memulai perbincangannya terlebih dahulu sebelum kita memunculkan akademik papernya nanti secara official insya allah,” ujarnya.

Anis mengatakan, selama kurun waktu hampir 25 tahun reformasi, Pemilu 2019 dinilai sebagai pemilu yang paling buruk. Persyaratan presedential threshold telah menyebabkan polarisasi yang sangat tajam. 


“Artinya sistem ini berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam,” tuturnya.

Ditambah lagi, beban kerja penyelenggara pemilu pada 2019 lalu dinilai berat, sehingga mucul banyak korban. Menurutnya jika dikalkulasi, untuk satu kursi DPR harus mengorbankan dua nyawa. Angka tersebut dinilai sebagai pengalaman demokrasi yang sangat buruk.

BACA JUGA :  DPR Bakal Panggil Mendikbud Soal Formasi CPNS Guru

“Tapi jika kita melihat bahwa jika daftar pemilih tetap dikurangi suara rusak, partai-partai yang tidak lolos threshold, maka kita melihat total pemilihan kursi dari 575 angota DPR saat ini, itu tidak akan sampai 50 persen. Artinya itu juga menunjukkan angka keterwakilan, angka representasinya sangat rendah. Ini hanya salah satu contoh dari hal-hal yang ingin kita evaluasi,” jelasnya.


 


 





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirteen + seventeen =

Trending

Ke Atas