Life Style

Bisakah Anak dengan Cerebral Palsy Hidup Mandiri? Ini Penjelasan Ahli Neurologi

Bisakah Anak dengan Cerebral Palsy Hidup Mandiri? Ini Penjelasan Ahli Neurologi


Cerebral palsy memengaruhi otot, gerak, dan koordinasi tubuh.

TERDEPAN.id, JAKARTA — Cerebral Palsy atau lumpuh otak merupakan kondisi penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh. Kerusakan otaknya bersifat permanen dan tidak bisa disembuhkan, tapi apakah anak dengan cerebral palsy bisa hidup mandiri?

Ahli neurologi anak dr Setyo Handryastuti mengatakan bahwa kemungkinan anak cerebral palsy bisa hidup mandiri tergantung pada klasifikasi gross motor function classification system-nya (GMFCS). Ini merupakan standar baku global untuk menentukan level kemampuan fungsional bagi anak penyandang cerebral palsy atau kondisi disabilitas fisik lainnya.

BACA JUGA :  Taman Nasional Bromo Tengger Sosialisasi Protokol Kesehatan

Menurut dr Setyo, anak cerebral palsy dengan klasifikasi ringan, yakni grade 1 sampai 3, diharapkan bisa hidup mandiri. Sementara kondisi cerebral palsy dengan grade 4 dan 5 dinilai sulit mencapai kemandirian.

“Jadi tergantung klasifikasinya ya, tapi yang gradenya ringan diharapkan bisa mandiri nanti saat remaja atau dewasanya,” kata dr Setyo dalam Live IG yang disiarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia, dikutip Kamis (14/7/2022).

Dr Setyo menekankan bahwa hal terpenting yang harus dilakukan orang tua adalah deteksi dini. Jika sedari bayi terlihat ada risiko cerebral palsy, orang tua harus mengawasi dan konsultasi dengan dokter secara rutin, sehingga begitu dia terdeteksi bisa langsung diintervensi dengan fisioterapi.

BACA JUGA :  Rebel Wilson Pilih Hidup Sehat karena Ingin Punya Anak

Menurut Dr Setyo, idealnya sedari usia dua tahun anak cerebral palsy sudah mendapatkan intervensi. Ketika pada usia tersebut anak sudah bisa duduk, maka kemungkinan bisa berjalan sangat besar, dengan atau tanpa alat bantu.

“Tapi yang sering terjadi, kita udah bisa deteksi, bisa terapi dan sebagainya, orang tua belum menjalankan itu dan mencari pengobatan yang lain lalu kembali lagi ke dokter di usia empat-lima tahun, dan tentunya akan lebih sulit kalau datang di atas usia dua tahun. Nggak mungkin kita memperbaiki saat anak sudah besar, apalagi yang klasifikasi berat,” jelas dr Setyo.





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fifteen − 13 =

Trending

Ke Atas