Politik

Golkar Menarik Diri dari Pembahasan Revisi UU Pemilu

Golkar Menarik Diri dari Pembahasan Revisi UU Pemilu


Golkar mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada 2024.

TERDEPAN.id, JAKARTA — Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin menegaskan bahwa Fraksi Partai Golkar DPR RI akan menarik diri dari pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dia mengatakan, Golkar juga mendukung pelaksanaan pilkada serentak secara nasional dilaksanakan pada 2024 sesuai dengan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

“Usai melakukan konsolidasi dan menyerap aspirasi, Golkar lebih mengutamakan untuk menarik dan mengikuti amanah UU mengenai pilkada secara serentak dilaksanakan di tahun 2024. Itu untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara yang saat ini sedang melakukan pemulihan ekonomi di masa pandemi,” kata Azis di Jakarta, Rabu (10/2).

Azis menilai saat ini lebih baik bangsa Indonesia mengutamakan masalah penyelesaian penyebaran Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Langkah itu menurut dia lebih baik dari pada harus “menguras keringat” membahas draf RUU Pemilu yang tentunya putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap, final dan mengikat.

“Putusan MK sejak diucapkan memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum yang dapat di tempuh serta sifat final. Dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat atau final and binding,” ujarnya.

BACA JUGA :  Ini kewajiban jamaah haji pada hari 10 Dzulhijjah

Pernyataan Azis hari ini berbeda dengan sebelumnya. Pada Selasa (9/2), Azis menilai pembahasan revisi UU Pemilu saat ini relevan dan penting untuk dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi Indonesia. Ia menjabarkan ada sejumlah alasan UU Pemilu urgen untuk dibahas.

“UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebabkan kondisi kompleksitas pemilu lima kotak (pemilihan presiden, DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II),” kata Azis dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/2).

Selain itu adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu juga dinilai menjadi salah satu alasan UU Pemilu perlu dibahas. Kemudian, ada kecenderungan desain kelembagaan penyelenggara pemilu belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.

“Pengaruh terhadap tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) dan surat suara terbuang (wasted votes),” ujarnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai fraksi-fraksi yang ada di DPR plin-plan terkait revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasalnya, RUU tersebut sudah disetujui masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang seharusnya sudah disetujui oleh fraksi yang ada di DPR.

BACA JUGA :  PKS Umumkan Kepengurusan Baru di Munas V

“Bisa-bisanya mereka yang sudah setuju, hanya dalam satu dua hari tiba-tiba membantah sendiri sikap mereka. Plin-plan sekali fraksi-fraksi itu nampaknya,” ujar Lucius saat dihubungi, Rabu (10/2).

Umumnya, RUU yang sudah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas adalah RUU yang sudah disetujui oleh seluruh fraksi, termasuk di dalamnya revisi UU Pemilu. Namun entah ada apa, tiba-tiba banyal fraksi yang balik badan dan menolak dilanjutkannya pembahasan.

“Atau anggota fraksi di Baleg tidak berkoordinasi dengan pimpinan partai? Kok bisa-bisanya mereka yang sudah setuju, hanya dalam satu dua hari tiba-tiba membantah sendiri sikap mereka,” ujar Lucius.

Alibat tidak konsistennya seluruh fraksi kepada revisi UU Pemilu, menurutnya berimplikasi pada tidak ditetapkannya Prolegnas Prioritas 2021 dalam rapat paripurna hari ini. Akibatnya, 32 RUU lainnya terbengkalai pembahasannya.

“Gara-gara RUU Pemilu yang kepentingan terbesarnya justru untuk parpol, nasib RUU-RUU lainnya ikut terbengkelai? Kenapa gara-gara kepentingan parpol, kepentingan publik justru diabaikan,” ujar Lucius.

sumber : Antara, Nawir Arsyad Akbar





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × 5 =

Trending

Ke Atas