Politik

Launching Visi-Misi, KIB Ingin Akhiri Politik Identitas

Launching Visi-Misi, KIB Ingin Akhiri Politik Identitas


Politik identitas selama dua pilpres diharapkan berakhir dengan terbentuknya KIB.

TERDEPAN.id, SURABAYA — Tiga ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) meluncurkan visi misi untuk bekal mengarungi Pilpres 2024 di Hotel Shangri-la Surabaya, Ahad (14/8/2022). Tiga ketua umum yang dimaksud, yakni Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa.


Zulkifli Hasan menyatakan, tujuan KIB adalah mengakhiri politik identitas yang secara nyata telah memecah belah persatuan bangsa. Zulhas mengatakan, perpecahan bangsa sudah sangat meruncing yang ditimbulkan persaingan pada Pilpres dua periode terakhir.

BACA JUGA :  Ikuti Arahan Erick Thohir, Asuransi Kredit Indonesia Terus Bertansformasi di Usia Baru


Politik identitas tersebut yang diharapkan bisa diakhiri dengan terbentuknya KIB. “Dua kali pilpres, pembelahan (perpecahan antar pendukung) sampai ke rusuk. Itu yang harus kita akhiri kalau kita ingin menjadi negara maju,” kata Zulhas.


Zulhas menambahkan, ketiga partai yang tergabung dalam KIB berkumpul dan berkoalisi untuk menentukan arah Bangsa Indonesia ke depan. “Kami bersama-sama merenung, mengkaji, merumuskan, tentang masa depan Indonesia. Karena itu, koalisi butuh serangkaian pertemuan termasuk hari ini,” kata Zulhas.

BACA JUGA :  Erick Thohir Dinilai Sebagai Cawapres dengan Kriteria Paling Kuat di Pilpres 2024


Zulhas menyatakan, untuk menentukan arah Bangsa Indonesia ke depan, diperlukan introspeksi dan prospeksi tentang perjalanan yang telah dilalui Indonesia. “Kita menyelam ke dalam, ke samping, ke berbagai arah untuk dapat menapaki perjalanan bangsa,” ujarnya.


Zulhas juga mengajak partai-partai yang tergabung dalam KIB untuk melakukan evaluasi terhadap sistem demokrasi di negeri ini. Zulhas merasa, sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia, akhir-akhir ini menjadi demokrasi transaksional. “Padahal demokrasi transaksional akan menghasilkan kesenjangan, kegaduhan, distrust, dan sebagainya. Maka dari itu harus diluruskan,” ujarnya. 





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × five =

Trending

Ke Atas