Politik

Peneliti LIPI: UU Ciptaker Atur Pekerja Lebih Produktif

Peneliti LIPI: UU Ciptaker Atur Pekerja Lebih Produktif


UU Ciptaker mengatur skema pekerja yang lebih produktif supaya upah lebih besar.

TERDEPAN.id, JAKARTA — Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathimah Fildzah Izzati mengatakan pasal 88 B Undang-Undang ‘Omnibus Law’ Cipta Kerja mengatur skema pekerja yang lebih produktif. Hal ini supaya upah yang didapatkan jauh lebih besar.

Pasal 88 B UU Ciptaker menyebutkan upah ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu satuan waktu dan satuan hasil. Itu berarti upah yang diterima pekerja akan lebih besar jika waktu bekerja lebih lama dan hasil pekerjaan lebih banyak.

“Kita sudah bisa melihat contohnya para supir taksi dan ojek daring di ekonomi perusahaan-perusahaan seperti Gojek, Grab, dan lain-lain. Mereka kan kerja berdasarkan order yang mereka terima. Mereka bisa bekerja melebihi jam kerja pada umumnya, misalnya delapan jam kerja, karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih,” kata Fildzah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/10).

BACA JUGA :  Kapolri Diminta Usut Pembakaran Bendera PDIP

Ia mengatakan logika yang sama juga bisa diterapkan pekerja tidak tetap pada umumnya, kalau sistem upah dalam UU Cipta Kerja dibakukan dalam satuan waktu dan satuan hasil tersebut. Fildzah mengatakan keberadaan skema tersebut dilihat berdasarkan draf terakhir RUU Cipta Kerja yang diterimanya pada 5 Oktober 2020.

Kendati bisa saja berubah lagi, menurut Fildzah, konsekuensi demikian akan tetap sama, mengingat RUU Cipta Kerja memiliki ruh untuk menciptakan iklim investasi yang ramah investor agar terciptanya lapangan kerja. “Ketika pun nanti misalnya di draf paling akhir berubah-ubah kata-katanya atau narasinya, tapi sebenarnya yang perlu dilihat adalah esensi atau jiwa dari UU Ciptaker ini sama,” kata Fildzah.

BACA JUGA :  Kementerian Investasi Gandeng PNM Dukung Pelayanan Perizinan UMKM

Namun, kata Fildzah, ada konsekuensi yang mungkin dilanggengkan dengan diundangkannya peraturan tersebut, yaitu hubungan antara pekerja dengan serikat pekerjanya. “Jadi jam kerjanya tidak menentu, begitu. Akan susah melakukan aktivitas-aktivitas di kantor. Ketika mau berserikat, tempat kerjanya berpindah-pindah, tidak tetap, dan lain-lain, ini sulit juga. Nah, ini adalah konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya sudah dirasakan sejak sebelum (RUU) Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. Dengan disahkan, berarti dilanggengkan begitu,” kata Fildzah.

sumber : Antara





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

16 − 15 =

Trending

Ke Atas