Life Style

Psikiater Sebut Umumnya Pelaku Bunuh Diri Sebelumnya Sudah Beda Perilakunya

Psikiater Sebut Umumnya Pelaku Bunuh Diri Sebelumnya Sudah Beda Perilakunya


Tindakan bunuh diri dilatarbelakangi sejumlah alasan yang kompleks.

TERDEPAN.id, JAKARTA — Psikiater Nova Riyanti Yusuf angkat bicara meninggalnya seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah bunuh diri akibat depresi. Nova mengatakan, beberapa masalah kompleks menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri.

“Jadi, kalau berdasarkan buku penelitian bunuh diri, tidak ada yang namanya satu alasan (membuat) seseorang melakukan bunuh diri. Masalahnya kompleks dan setiap orang unik,” ujarnya saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Ia menyebutkan bunuh diri dilakukan bisa dilakukan seseorang karena beberapa aspek. Di antaranya aspek psikogis seperti memiliki kepribadian apa, cara menghadapi masalah bagaimana.

Ia menambahkan, cara menghadapi masalah inilah yang menentukan keputusan hidup. Kemudian, ia menyebutkan aspek lainnya adalah biologis yaitu ada tidak riwayat gangguan jiwa di keluarga, apakah di keluarga ada yang bunuh diri.

Aspek sosial misalnya apakah ada masalah di kuliahnya, keluarganya seperti broken home karena perceraian orang tuanya, atau ada masaah dengan pacar atau bahkan urusan di sekolah atau kampus. Selain itu, pandemi juga bisa menjadi aspek seseorang bunuh diri.

BACA JUGA :  Hati-Hati Penularan Virus Lewat Udara di Kabin Mobil

“Minimal ada tiga aspek ini (membuat seseorang jadi bunuh diri),” katanya.

Sebenarnya, dia menambahkan orang yang akan bunuh diri sudah kelihatan memiliki masalah kejiwaan. Artinya memang mayoritas ada gangguan jiwa yang menyertai, baik terdiagnosis maupun belum.

“Ini termasuk yang terjadi pada si anak ini, tetapi kita tak mengetahui karena belum melakukan pemeriksaan. Jadi, hanya berdasarkan penelitian,” katanya.

Lebih lanjut Nova mengaku juga melakukan penelitian serupa di 2019 untuk kampus di Amerika Serikat. Nova mengaku membuat alat untuk deteksi dini faktor risiko untuk bunuh diri. Hasilnya memang ada hal yang signifikan.

“Instrumen bunuh diri ini memiliki empat dimensi yang signifikan,” ujarnya.

Ia menyebutkan dimensi pertama adalah loneliness alias kesepian. Kemudian, kedua adalah hopeless alias putus asa, ketiga belongingness alias keinginan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna, biasanya pada remaja. Dimensi keempat adalah perasaan menjadi beban bagi orang lain.

BACA JUGA :  The Weeknd Donasi Rp 14,5 Miliar untuk Konflik Ethiopia

Lebih lanjut ia menyebutkan ada 13,8 persen yang terdeteksi faktor risiko tinggi untuk bunuh diri yang usianya 14-19 tahun. Artinya, dia melanjutkan, mahasiswa UGM yang jatuh dari lantai 11 di sebuah hotel ini masih dalam kategori ini.

Untuk mencegah kasus serupa terulang, ia meminta keluarga atau orang terdekat bisa mengenali ciri-ciri orang yang depresi yaitu keinginan bunuh diri hingga sikap yang berubah. “Jika sudah menunjukkan ini sebaiknya dibawa ke ahlinya di gawat darurat atau psikolog atau psikiater. Karena ibaratnya jika sakit kanker bisa berakhir pada kematian, keinginan bunuh diri juga bisa mengakhiri hidup,” katanya.

Sebelumnya, Polsek Bulaksumur, Sleman memastikan kasus mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) meninggal murni karena bunuh diri. Jasad korban sudah dibawa keluarganya ke Kendal, Jawa Tengah. untuk dimakamkan.

Dari hasil olah TKP, polisi mendapatkan surat terkait hasil pemeriksaan psikologi TSR dari Rumah Sakit JIH Sleman. Surat itu ada di dalam tas milik korban.





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

two × three =

Trending

Ke Atas