Politik

Wacana Presiden Tiga Periode Dinilai Justru Rugikan Parpol

Wacana Presiden Tiga Periode Dinilai Justru Rugikan Parpol


Kesempatan kader parpol untuk maju dalam kontestasi pilpres menjadi terbatas. 

TERDEPAN.id, JAKARTA — Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan pihak yang paling dirugikan dari penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode justru partai politik (parpol). Kesempatan kader parpol untuk maju dalam kontestasi pilpres menjadi terbatas. 


“Ya parpol itu kan fungsi utamanya rekrutmen untuk kaderisasi anggotanya disiapkan menjadi pemimpin gitu ya. Nah sementara untuk maju ke dalam ruang kepemimpinan ini terbatas, kan justru akan merugikan bagi partai politik itu sendiri,” kata Khoirunnisa dalam diskusi daring, Rabu (23/6).

BACA JUGA :  Menkominfo tegaskan literasi digital bisa akselerasi digitalisasi UMKM


Melihat kecenderungan itu, Khoirunnisa menilai seharusnya parpol satu suara menolak wacana tersebut. Seharusnya Pemilihan Presiden 2024 mendatang  menjadi ajang bagi masyarakat untuk melihat wajah baru  yang akan bertarung dalam kontestasi pilpres. 


“Orang-orang yang fresh, orang-orang yang baru, yang mungkin masih relatif dari usia muda, yang  menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat,” ujarnya.


Menurutnya, jangan sampai pengalaman pilpres 2014 dan 2019 kembali terjadi.


Masyarakat dinilai butuh calon alternatif yang punya gagasan segar.


“Jadi adanya gagasan (tiga periode) ini justru menjadikan alternatif-alternatif itu tidak muncul,” ucapnya.


Ia menambahkan, jika alasannya agar tidak terjadi polarisasi seperti pilpres 2019 lalu maka solusinya bukan menambah masa jabatan. Menurutnya, ada banyak faktor kemunculan polarisasi di masyarakat 

BACA JUGA :  Menko Perekonomian Airlangga Terima Kunjungan Duta Besar Uni Eropa


“Misalnya faktor media sosial, bukan dalam artian untuk membatasi orang berkampanye di medsos, tapi ketika waktu itu masa pemilu 2019 saya ingat masa kampanye kurang lebih delapan bulan ya, waktu yang cukup panjang,” tuturnya.


“Selama delapan bulan itu kampanye yang disampaikan, dipertontonkan masyarakat adalah kampanye-kampanye yang bentuknya kampanye hitam, saling menjatuhkan satu sama lain antardua kubu ini saling serang di medsos, nah itu yang kita nggak kontrol dan kemudian itu menimbulkan polarisasi di masyarakat,” imbuhnya. 





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 × one =

Trending

Ke Atas