Life Style

Film Tjoet Nja’ Dhien Rampung 2 Tahun karena tak Ada Dana

Film Tjoet Nja’ Dhien Rampung 2 Tahun karena tak Ada Dana


Syuting Tjoet Nja’ Dhien berhenti setiap dua bulan untuk mencari dana.

TERDEPAN.id, JAKARTA — “Tjoet Nja’ Dhien” yang merupakan sebuah film perjuangan tentang seorang perempuan kuat asal Aceh dalam melawan penjajah Belanda era awal 1900an, rupanya juga sebuah perjuangan bagi para pemainnya untuk merampungkan film ini.


Sang pemeran Teuku Umar, Slamet Rahardjo menceritakan, bagaimana ia bersama seluruh pemain dan kru ‘nekat’ membuat film dengan bujet yang ngepas. Alhasil, film harus selesai dalam dua tahun karena setiap dua bulan mereka berhenti syuting untuk cari sumber dana.


“Waktu itu, kita orang-orang gila kumpul, nggak punya duit bikin film. Ini dibikin dua tahun bukan prosesnya, tapi karena dua bulan syuting lalu berhenti dan cari duit, syuting, berhenti, cari duit lagi, begitu terus sampai selesai,” ucap Slamet saat ditemui usai pemutaran perdana film “Tjoet Nja’ Dhien” di Plaza Senayan, Jumat (21/5).

BACA JUGA :  Waspada, Gerd yang tak Diatasi Bisa Picu Asma


Bisa dibilang, film ini rampung secara gotong royong antara pemain dan kru. Slamet setuju dengan yang dikatakan Menteri BUMN Erick Thohir yang juga hadir dalam pemutaran perdana “Tjoet Nja’ Dhien”, tentang kekuatan gotong royong.


“Jadi yang ingin disampaikan Pak Erick soal gotong royong, gotong royong itu hanya bisa jika kita punya pembawaan menjadi motivator. Gotong royong itu hanya bisa dilakukan dari pribadi yang sering mendorong dari belakang,” ucap dia.


Dengan arahan sutradara Eros Djarot, menjadi salah satu yang penting dalam memimpin sebuah film yang tidak mudah. Begitu pula film “Tjoet Nja’ Dhien” yang menceritakan sosok pemimpin perempuan yang berjuang bersama rakyatnya. Di Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, Slamet menyebut tiga prinsip dasar kepemimpinan menurut Ki Hajar Dewantara.

BACA JUGA :  6 Rekomendasi Dessert Menggiurkan yang Ada di Dessert Markt


Ing ngarsa sung tulada, artinya di depan menjadi teladan, pemimpin harus menjadi contoh bagi anak buahnya. Ing madya mangun karsa, di tengah menjadi motivator (membangun niat), pemimpin harus berjuang bersama anak buahnya. Tut wuri handayani, di belakang memberikan daya guna, pemimpin membiarkan anak buahnya bisa melakukan sendiri.


“Sekarang sepertinya yang dipakai hanya tut wuri handayani saja. Jadi kelemahan Indonesia itu salah satunya gotong royong, dan itu yang menyebabkan kita bertengkar terus,” kata aktor yang juga bermain dalam film “Marsinah” itu.





Sumber
Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 + 20 =

Trending

Ke Atas